
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi anak dari seorang pejuang dien-Nya. Seorang da’i yang selalu menyeru kepada kebenaran. Seorang yang selalu menjaga semangat berdakwah hingga di akhir hayatnya.
Meski tidak sekaliber ulama-ulama besar di negeri ini, tapi di mata saya, bapak bukan hanya ustadz yang mengajarkan agama, tapi juga seorang mujahid sejati yang tak mengenal kata menyerah.
Perjalanan hidupnya bisa dibilang penuh dengan ujian. Di usia sekitar 10 tahun, bapak sudah tak lagi berayah dan beribu. Bapak kecil diasuh oleh kakak-kakaknya dan tinggal di sebuah kampung di perbatasan Sumatera Utara – Sumatera Barat. Untuk meneruskan pendidikan ke jenjang menengah, bapak terpaksa hijrah ke daerah lain. Secara di kampung hanya terdapat sekolah dasar.
Ketika mengenyam bangku Mts dan PGA di Ujung Gading, Pasaman, Sumatera Barat, bapak menghidupi dirinya dengan berjualan minyak tanah yang didapatnya dari juragan. Hampir setiap pulang sekolah, bapak memanggul kaleng minyak tanah itu dan menjualnya keliling ibukota kecamatan itu. Setamat dari PGA, bapak merantau ke Padang. Berencana meneruskan sekolahnya ke Universitas Muhammadiyah, Padang. Namun apa daya, biaya tak ada. Bapak tak kehabisan akal. Bapak menemui salah seorang pimpinan di Universitas Muhammadiyah itu untuk meminta beasiswa. Pimpinan itu menyetujui namun dengan syarat bapak harus menjadi juru dakwah di Kepulauan Mentawai selama 2 tahun. Dikarenakan keinginan kuliah bapak yang menggebu, bapak pun menerima syarat itu. Dan tinggallah bapak selama 2 kali idul fitri di salah satu pulau di barat Padang itu. Berdakwah.
Setelah menyelesaikan Sarjana Muda-nya, bapak melanjutkan perantauannya ke Jakarta. Satu-satunya tempat yang dituju adalah Dewan Dakwah. Alhamdulillah, keberuntungan berpihak ke bapak. Setelah satu tahun bergabung di Dewan Dakwah, bapak mendapatkan kesempatan untuk makan bangku kuliah di Timur Tengah. Tepatnya di Universitas Ibnu Saud, Riyadh. Semua ini tak lepas dari peran Alm Natsir, mantan perdana menteri RI.
Menariknya, saat bapak meninggalkan Indonesia, ibu sedang mengandung saya. Alhasil, ketika saya lahir, bapak tak berada di samping. Hidup terpisah dengan jarak dan waktu bukan menjadi penghalang bagi bapak dan ibu. Meski bertemu hanya sekitar 1-2 bulan setiap tahunnya, rumah tangga bapak dan ibu awet hingga maut memisahkan mereka. Sekitar tahun 1983, bapak kembali ke tanah air, dan dipercaya oleh Pak Yunan Nasution untuk memegang Akademi Bahasa Arab di Dewan Dakwah.
Tak hanya mengurusi Akademi Bahasa Arab itu, bapak juga kerap diundang ke berbagai daerah untuk memberikan pencerahan dan siraman rohani. Tak kurang PT Arun Aceh, PT Pusri Palembang, LNG Bontang, PT Freeport Tembagapura, PT Pertamina di Cirebon, Cilacap, Duri, dll, telah mengundang bapak untuk berceramah di sana. Bukan hanya itu, bapak juga sering diminta oleh Pak Ande Latief, direktur utama PT Tiga Utama, untuk membimbing jamaah haji ataupun umrah. Inilah yang kemudian menjadi awal langkah bapak dalam dunia perhajian. Beberapa tahun setelah itu, bapak memberanikan diri untuk membuka sendiri bimbingan haji dan umrah yang kini diwariskan kepada saya.
Sebagai seorang dai, bapak selalu mengatakan kepada dai-dai muda untuk tidak mencari hidup di dunia dakwah. Bapak menyesalkan saat banyak teman bapak yang hidup dengan hanya berharap dari uang amplop dari jamaah. Bagi bapak, dakwah adalah tuntutan, dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, bapak pun merambah dunia lain.
Bapak pernah bekerjasama dengan orang untuk membangun pabrik Kelapa Parut di Cilegon. Bapak juga pernah berkecimpung di dunia budidaya Udang, di Brebes. Bapak pun merambah ke dunia percetakan dan penerbitan. Untuk dunia satu ini, sekitar tahun 2003, bapak sempat menjabat menjadi salah satu ketua di Ikapi Jakarta. Intinya, bapak tak lagi mau menjual ayat untuk mencari uang.
Di tahun 1999 bapak pun memperkuat salah satu partai dakwah dengan menjadi Caleg tuk DPR RI. Demikian juga di tahun 2004. Bapak termasuk pendulang suara bagi Caleg yang nomor urut di atasnya. Terlepas pro dan kontra yang ada, saya melihatnya ini sebagai bentuk dakwah bapak juga. Wallahu ‘alam.
Bapak juga concern dengan kaderisasi mubaligh. Tak kurang 50 orang setiap tahunnya dididik untuk menjadi mubaligh yang siap terjun ke masyarakat. Untuk “melestarikan” ilmunya, bapak juga telah menulis beberapa buku yang menunjang pelatihan tersebut. Selain itu bapak juga menulis buku tentang haji, aqidah, dan lain-lain. Pendek kata, bapak tak pernah berhenti berkarya.
Tapi kini bapak sudah tak ada. Bapak telah meninggalkan segudang kenangan kepada kami. Bapak telah mewariskan beberapa amanah kepada kami (Putera-puteri kandungnya dan anak didiknya). Amanah yang tidak ringan, yaitu, melanjutkan perjuangan dakwah yang sudah dirintisnya berpuluh tahun yang silam. Semoga kami dapat menjalankan amanah itu dengan baik. Semoga.
In memoriam:
KH. BASRAH LUBIS
Lahir: Jum’at, 7 September 1950 Wafat: Jum’at, 10 Juni 2005
Allahumaghfirlahu, warhamhu, wa afiihi wa fuanhu. Allahuma laa tahrimna ajrohu, wa laa taftinna ba'dahu, waghfirlana walahu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar