
Peristiwa demi peristiwa saya alami. Semua saya maknai sebagai ajang pembelajaran juga
pendewasaan diri. Beberapa peristiwa yang saya nukil di atas, mempunyai benang merah berupa sikap saya saat menghadapi sebuah masalah. Dalam hal ini adalah masalah yang berkaitan dengan hak. Saya sangat geram apabila ada orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang jahil dan mengotak-atik sesuatu hingga hak-hak seseorang dikebiri.
Kerap kali saya geram melihat hak-hak tersebut ditindas oleh kaki-kaki penguasa yang tidak sadar bahwa keberadaan mereka di kursi kekuasaan itu juga tak lepas dari jerih payah orang-orang yang ada di bawahnya. Saya sering miris bila menyaksikan ketidakberdayaan orang dalam memperjuangkan haknya.
Tak hanya itu. Saya juga sering sedih bila tangan-tangan tiran menebas habis hak-hak orang lain sampai ke akar-akarnya. Saya geram! Saya ingin berteriak dan menempelengi oknum-oknum yang sudah kelewat batas. Ingin rasanya saya lakukan itu. Namun apalah daya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang anak manusia yang berusaha untuk bisa mengatakan tidak pada kedzaliman!
Mungkin teman-teman bertanya, dari mana saya mendapatkan gen pemberani seperti ini. Yap! Dari orang tua saya. Khususnya dari Bapak (alm). Saya banyak belajar dari Bapak. Belajar untuk vokal. Belajar untuk mengungkapkan pendapat. Dan belajar untuk banyak hal lagi.
Di tahun 80-an, bapak keluar dari organisasi yang membesarkannya, dikarenakan perbedaan prinsip. Organisasi itu mengikuti aturan pemerintah tentang pemberlakuan azas tunggal pancasila, sedangkan bapak menolak mentah-mentah azas itu. Karena tak lagi sepaham, bapak memutuskan untuk keluar dari organisasi dan mendirikan organisasi baru. Meski gurem, tapi bapak selalu bangga, karena menurutnya, mengikuti aturan pemerintah untuk mengubah seluruh azas menjadi azas pancasila tak ubahnya mengikuti ideologi thogut!
Di lain waktu, senada dengan cerita saya di atas, pernah satu kali bapak mengisi bensin di sebuah SPBU. Baru beberapa saat, bapak kembali ke SPBU tersebut dan menemui pimpinannya. Bapak merasa literan SPBU itu bermasalah. Dengan serta merta bapak meminta pimpinan itu untuk menghentikan semua transaksi. Bapak kemudian meminta agar seluruh uang yang terkumpul dihitung dan dicocokkan dengan jumlah literan yang sudah keluar.
Permintaan bapak dikabulkan. SPBU ditutup untuk sementara. Pimpinan itu menugaskan kepada bawahannya untuk mengumpulkan semua uang dan menghitung jumlah bensin yang sudah dikeluarkan. Lebih dari 1 jam bapak dan pimpinan SBPU menunggui para petugas untuk menghitung dan mencocokkan dengan data. Benar saja! Ada selisih yang cukup signifikan antara jumlah uang yang ada dengan jumlah bensin yang sudah dikeluarkan. Selisih itu hampir mencapai 1 juta rupiah! Angka yang cukup fantastis! Dalam beberapa jam saja, petugas itu sudah mengantongi 1 juta rupiah. Bagaimana jika berhari-hari atau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun??
Bukan hanya itu. Bapak juga termasuk vokal saat pemerintah mengeluarkan satu aturan yang tanpa sosisalisasi terlebih dahulu. Dengan berbicara di koran dan televisi, bapak mengatakan bahwa si A (sebut saja begitu) sudah melebih wewenangnya. Dan bapak meminta si A untuk mundur dari jabatan!
Masih banyak lagi contoh yang secara tak langsung bapak ajarkan ke saya. Lambat laun, saya dibentuk dengan didikan untuk berani. Berani berkata dan bertindak selama saya yakini bahwa apa yang saya katakan dan saya lakukan adalah benar. Didikan itu berhasil. Sering kali saya tak bisa tinggal diam melihat kedzoliman yang ada. Semua ini karena ada contoh dihadapan mata. Bagiku, bapaklah sumber inspirasiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar