Rabu, 13 Januari 2010

6 Juni 2005


Pagi itu, seperti biasa, setelah menyelesaikan rutinitas di rumah, saya pun menuju kantor di bilangan Buaran, Duren Sawit. Setibanya di kantor, saya memulai pekerjaan saya. Sekitar satu jam setelah itu, bapak datang dengan mengendarai mobil kesayangannya. Tak lama kemudian, telephone berbunyi. Seseorang di seberang sana memberitahukan bahwa Ibu Harahap, salah seorang jamaah haji Bapak tahun 1998 meninggal duni dan akan dimakamkan siang itu juga. Mendengar hal ini, bapak kemudian bersiap menuju rumah almarhumah. Sepanjang perjalanan, kami (Bapak, Ibu, saya, dan 2 ustadz) berbincang tentang banyak hal. Mulai dari Muhammadiyah hingga Adi Sasono. Tak ada yang ganjil.

Menjelang dzuhur, kami pun tiba di rumah duka di daerah pancoran. Rumah tersebut berada di gang sempit yang hanya dapat dilalui oleh satu mobil. Melihat hal ini, bapak lalu turun, dan ikut membantu dengan menjadi juru parkir. Setelah mobil terparkir dengan sempurna, kami bergegas menuju tempat duka. Setibanya di sana, kami melihat jenazah sudah diusung ke teras dan akan diadakan semacam pelepasan sebelum dibawa ke mesjid untuk dishalatkan. Melihat kehadiran bapak, pemilik rumah langsung menyambut dan mendaulat bapak untuk membaca doa.

Setelah sambutan dari beberapa pihak, bapak pun memimpin doa. Saat berdoa itulah, saya mendengar suara bapak "pelo". Saya yang berdiri di samping bapak melihat ada sesuatu yang berubah di wajah bapak. Mulutnya sudah miring. Matanya melotot menatap satu titik di sudut ruangan. Suaranya juga sudah tidak jelas. Refleks saya memegang badan bapak yang kokoh itu dan memintanya untuk menyudahi doanya. Tapi beliau menolak. Beliau terus berdoa hingga jamaah mengaminkan untuk terakhir kalinya.

Selesai bapak membacakan doa, jenazah kemudian dibawa ke mesjid untuk dishalatkan. Seakan tidak terjadi apa-apa, bapak pun melangkahkan kakinya seolah hendak mengikuti iring-iringan jenazah. Namun apa daya, bapak terlalu lemah untuk bisa melangkah. Bapak terhuyung dan "ditangkap" oleh beberapa pelayat yang saat itu ada di sekitar bapak. Kami mendudukkan bapak di kursi, dan memberinya minum dengan harapan agar bapak segera pulih. Ternyata itu tindakan yang sangat fatal. Tindakan yang sangat saya sesali. Ternyata, pembuluh darah di otak bapak yang pecah justru semakin parah dengan diberikannya minum tadi.

Saya masih melihat iring-iringan pelayat yang hendak menyolatkan almarhumah, saat saya dan beberapa pelayat yang lain membawa bapak ke rumah sakit. Hari itu 6 Juni 2005. Tepat saat adzan dzuhur dikumandangkan, saat bapak menyelesaikan doanya, bapak pun terkulai lemas. Sorenya, saya mendapatkan informasi dari dokter yang merawat bahwa kondisi bapak KOMA.

Seakan tak percaya, tapi nyata. Bapak terbujur kaku di ICU. Hanya bergerak sesekali. Namun tak bisa lagi diajak komunikasi. Matanya terpejam. Mulutnya dan hidungnya dipenuhi selang-selang yang tak saya ketahui kegunaannya. Dari kejauhan saya hanya bisa memandangi bapak. Tak menyangka bahwa sosok tegar yang pagi tadi masih meminta saya untuk menuliskan surat untuk beberapa instansi, sosok berwibawa yang sangat saya segani, sosok pejuang yang sangat saya kagumi kini hanya terbaring tak berdaya. Dalam sekejap Allah bisa ubah semuanya! Semuanyaa! Laa haula wa laa quwwata illa billah....

*Empat hari setelah dirawat, bapak pun kembali kehadirat-Nya. Hari Jum'at, 10 Juni 2005, pukul 13.25, bapak menghembuskan nafas terakhirnya di ICU Rumah Sakit Islam Pondok Kopi. Menurut dokter, bapak terkena serangan stroke. Pembuluh darah di otaknya pecah.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar