Rabu, 20 Januari 2010

Ulang Tahun Terakhir

Temans, hari ini, 7 September 2008, jika masih hidup, bapak berulang tahun yang ke-58. Saya jadi teringat saat ulang tahun bapak 4 tahun yang lalu. Kami sekeluarga disertai seluruh karyawan kantor, mengadakan makan malam bersama di Rumah Makan Ikan Bakar Banyuwangi, Rawamangun. Memang sudah menjadi kebiasaan kami untuk selalu menyempatkan diri makan malam bersama apabila salah satu dari anggota keluarga kami berulang tahun. Tidak untuk merayakan, tapi hanya dijadikan ajang berkumpul saja. Mengundang beberapa teman dekat, berkumpul, makan-makan, dan akhirnya ditutup dengan doa bersama.

Malam itu, saya melihat bapak sangat ceria. Beberapa guyonan dilontarkannya. Dan itu membuat kami terbahak. Itulah bapak. Meski secara penampilan terkesan garang, tapi di kala tertentu bapak bisa sangat hangat. Saya tak menyadari bahwa itu adalah terakhir kalinya kami berkumpul di hari ulang tahun bapak. Karena, tak sampai di tanggal 7 september tahun berikutnya, bapak sudah dipanggil Allah SWT.

Temans, jika masih hidup, hari ini bapak berulang tahun. Sebagai seorang anak, saya tak lagi bisa memberinya hadiah berupa Songkok Minang yang bapak sukai. Atau membelikan dasi dengan warna-warna cerah seperti yang sering bapak gunakan. Saya tak lagi bisa menyanyikan lagu selamat ulang tahun di saat pagi setelah shalat subuh bersama.

Di setiap tanggal 7 September sejak 3 tahun yang lalu, saya sempatkan diri untuk berziarah ke makamnya. Berdoa dan memohon ampunan untuk bapak. Meminta kepada Allah agar bapak dimaafkan dari segala dosa, ditutup segala aibnya, diterima segala amal perbuatannya, dilapangkan kuburnya, diterangi kuburnya, dibebaskan dari siksa kubur dan dimasukkan ke surga bersama para mujahid yang lain.

Temans, jika tidak keberatan, pada kesempatan kali ini, saya ingin temans sediakan sedikit waktu untuk berdoa tuk KH Basrah Lubis, bapak kami. Minimal, kirimkanlah Fathihah untuk beliau. Jika memungkinkan, doakan sebagaimana temans mendoakan orang tua sendiri.

Tiada yang lebih indah selain untaian doa yang bisa dihadiahkan oleh sosok pejuang seperti beliau. Semoga Allah SWT mendengar doa kita semua. Terlebih lagi di Bulan Ramadhan seperti ini. Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih. Jazakumullah khair katsir.




Elly Zarnie Lubis Binti Basrah Lubis
7 September 2008

Nyanyian Sunyi

Buluh merindukan kembali pada bambu, sebagaimana aku memimpikan kembali ke masa lalu.
Namun dentang lonceng menara menyadarkanku, seakan mengatakan bahwa sejarah tak pernah mencatat air mengalir ke hulu.
Ketika semua menjadi sirna, baru aku paham bahwa cinta tak selamanya bersama.
Nyanyian sunyi itu kembali kudendangkan, meski aku tahu bahwa ini kan membuatku semakin sepi.

Untuk Ayahanda tercinta: Semoga kelak kau akan dekap aku lagi di dunia sesudah ini.
19 July 2007

Rabu, 13 Januari 2010

Contoh Dihadapan Mataku




Peristiwa demi peristiwa saya alami. Semua saya maknai sebagai ajang pembelajaran juga
pendewasaan diri. Beberapa peristiwa yang saya nukil di atas, mempunyai benang merah berupa sikap saya saat menghadapi sebuah masalah. Dalam hal ini adalah masalah yang berkaitan dengan hak. Saya sangat geram apabila ada orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang jahil dan mengotak-atik sesuatu hingga hak-hak seseorang dikebiri.

Kerap kali saya geram melihat hak-hak tersebut ditindas oleh kaki-kaki penguasa yang tidak sadar bahwa keberadaan mereka di kursi kekuasaan itu juga tak lepas dari jerih payah orang-orang yang ada di bawahnya. Saya sering miris bila menyaksikan ketidakberdayaan orang dalam memperjuangkan haknya.

Tak hanya itu. Saya juga sering sedih bila tangan-tangan tiran menebas habis hak-hak orang lain sampai ke akar-akarnya. Saya geram! Saya ingin berteriak dan menempelengi oknum-oknum yang sudah kelewat batas. Ingin rasanya saya lakukan itu. Namun apalah daya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang anak manusia yang berusaha untuk bisa mengatakan tidak pada kedzaliman!

Mungkin teman-teman bertanya, dari mana saya mendapatkan gen pemberani seperti ini. Yap! Dari orang tua saya. Khususnya dari Bapak (alm). Saya banyak belajar dari Bapak. Belajar untuk vokal. Belajar untuk mengungkapkan pendapat. Dan belajar untuk banyak hal lagi.

Di tahun 80-an, bapak keluar dari organisasi yang membesarkannya, dikarenakan perbedaan prinsip. Organisasi itu mengikuti aturan pemerintah tentang pemberlakuan azas tunggal pancasila, sedangkan bapak menolak mentah-mentah azas itu. Karena tak lagi sepaham, bapak memutuskan untuk keluar dari organisasi dan mendirikan organisasi baru. Meski gurem, tapi bapak selalu bangga, karena menurutnya, mengikuti aturan pemerintah untuk mengubah seluruh azas menjadi azas pancasila tak ubahnya mengikuti ideologi thogut!

Di lain waktu, senada dengan cerita saya di atas, pernah satu kali bapak mengisi bensin di sebuah SPBU. Baru beberapa saat, bapak kembali ke SPBU tersebut dan menemui pimpinannya. Bapak merasa literan SPBU itu bermasalah. Dengan serta merta bapak meminta pimpinan itu untuk menghentikan semua transaksi. Bapak kemudian meminta agar seluruh uang yang terkumpul dihitung dan dicocokkan dengan jumlah literan yang sudah keluar.

Permintaan bapak dikabulkan. SPBU ditutup untuk sementara. Pimpinan itu menugaskan kepada bawahannya untuk mengumpulkan semua uang dan menghitung jumlah bensin yang sudah dikeluarkan. Lebih dari 1 jam bapak dan pimpinan SBPU menunggui para petugas untuk menghitung dan mencocokkan dengan data. Benar saja! Ada selisih yang cukup signifikan antara jumlah uang yang ada dengan jumlah bensin yang sudah dikeluarkan. Selisih itu hampir mencapai 1 juta rupiah! Angka yang cukup fantastis! Dalam beberapa jam saja, petugas itu sudah mengantongi 1 juta rupiah. Bagaimana jika berhari-hari atau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun??

Bukan hanya itu. Bapak juga termasuk vokal saat pemerintah mengeluarkan satu aturan yang tanpa sosisalisasi terlebih dahulu. Dengan berbicara di koran dan televisi, bapak mengatakan bahwa si A (sebut saja begitu) sudah melebih wewenangnya. Dan bapak meminta si A untuk mundur dari jabatan!

Masih banyak lagi contoh yang secara tak langsung bapak ajarkan ke saya. Lambat laun, saya dibentuk dengan didikan untuk berani. Berani berkata dan bertindak selama saya yakini bahwa apa yang saya katakan dan saya lakukan adalah benar. Didikan itu berhasil. Sering kali saya tak bisa tinggal diam melihat kedzoliman yang ada. Semua ini karena ada contoh dihadapan mata. Bagiku, bapaklah sumber inspirasiku.

6 Juni 2005


Pagi itu, seperti biasa, setelah menyelesaikan rutinitas di rumah, saya pun menuju kantor di bilangan Buaran, Duren Sawit. Setibanya di kantor, saya memulai pekerjaan saya. Sekitar satu jam setelah itu, bapak datang dengan mengendarai mobil kesayangannya. Tak lama kemudian, telephone berbunyi. Seseorang di seberang sana memberitahukan bahwa Ibu Harahap, salah seorang jamaah haji Bapak tahun 1998 meninggal duni dan akan dimakamkan siang itu juga. Mendengar hal ini, bapak kemudian bersiap menuju rumah almarhumah. Sepanjang perjalanan, kami (Bapak, Ibu, saya, dan 2 ustadz) berbincang tentang banyak hal. Mulai dari Muhammadiyah hingga Adi Sasono. Tak ada yang ganjil.

Menjelang dzuhur, kami pun tiba di rumah duka di daerah pancoran. Rumah tersebut berada di gang sempit yang hanya dapat dilalui oleh satu mobil. Melihat hal ini, bapak lalu turun, dan ikut membantu dengan menjadi juru parkir. Setelah mobil terparkir dengan sempurna, kami bergegas menuju tempat duka. Setibanya di sana, kami melihat jenazah sudah diusung ke teras dan akan diadakan semacam pelepasan sebelum dibawa ke mesjid untuk dishalatkan. Melihat kehadiran bapak, pemilik rumah langsung menyambut dan mendaulat bapak untuk membaca doa.

Setelah sambutan dari beberapa pihak, bapak pun memimpin doa. Saat berdoa itulah, saya mendengar suara bapak "pelo". Saya yang berdiri di samping bapak melihat ada sesuatu yang berubah di wajah bapak. Mulutnya sudah miring. Matanya melotot menatap satu titik di sudut ruangan. Suaranya juga sudah tidak jelas. Refleks saya memegang badan bapak yang kokoh itu dan memintanya untuk menyudahi doanya. Tapi beliau menolak. Beliau terus berdoa hingga jamaah mengaminkan untuk terakhir kalinya.

Selesai bapak membacakan doa, jenazah kemudian dibawa ke mesjid untuk dishalatkan. Seakan tidak terjadi apa-apa, bapak pun melangkahkan kakinya seolah hendak mengikuti iring-iringan jenazah. Namun apa daya, bapak terlalu lemah untuk bisa melangkah. Bapak terhuyung dan "ditangkap" oleh beberapa pelayat yang saat itu ada di sekitar bapak. Kami mendudukkan bapak di kursi, dan memberinya minum dengan harapan agar bapak segera pulih. Ternyata itu tindakan yang sangat fatal. Tindakan yang sangat saya sesali. Ternyata, pembuluh darah di otak bapak yang pecah justru semakin parah dengan diberikannya minum tadi.

Saya masih melihat iring-iringan pelayat yang hendak menyolatkan almarhumah, saat saya dan beberapa pelayat yang lain membawa bapak ke rumah sakit. Hari itu 6 Juni 2005. Tepat saat adzan dzuhur dikumandangkan, saat bapak menyelesaikan doanya, bapak pun terkulai lemas. Sorenya, saya mendapatkan informasi dari dokter yang merawat bahwa kondisi bapak KOMA.

Seakan tak percaya, tapi nyata. Bapak terbujur kaku di ICU. Hanya bergerak sesekali. Namun tak bisa lagi diajak komunikasi. Matanya terpejam. Mulutnya dan hidungnya dipenuhi selang-selang yang tak saya ketahui kegunaannya. Dari kejauhan saya hanya bisa memandangi bapak. Tak menyangka bahwa sosok tegar yang pagi tadi masih meminta saya untuk menuliskan surat untuk beberapa instansi, sosok berwibawa yang sangat saya segani, sosok pejuang yang sangat saya kagumi kini hanya terbaring tak berdaya. Dalam sekejap Allah bisa ubah semuanya! Semuanyaa! Laa haula wa laa quwwata illa billah....

*Empat hari setelah dirawat, bapak pun kembali kehadirat-Nya. Hari Jum'at, 10 Juni 2005, pukul 13.25, bapak menghembuskan nafas terakhirnya di ICU Rumah Sakit Islam Pondok Kopi. Menurut dokter, bapak terkena serangan stroke. Pembuluh darah di otaknya pecah.*

KH BASRAH LUBIS ( 7 Sept 1950 - 10 Juni 2005 )


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi anak dari seorang pejuang dien-Nya. Seorang da’i yang selalu menyeru kepada kebenaran. Seorang yang selalu menjaga semangat berdakwah hingga di akhir hayatnya.

Meski tidak sekaliber ulama-ulama besar di negeri ini, tapi di mata saya, bapak bukan hanya ustadz yang mengajarkan agama, tapi juga seorang mujahid sejati yang tak mengenal kata menyerah.

Perjalanan hidupnya bisa dibilang penuh dengan ujian. Di usia sekitar 10 tahun, bapak sudah tak lagi berayah dan beribu. Bapak kecil diasuh oleh kakak-kakaknya dan tinggal di sebuah kampung di perbatasan Sumatera Utara – Sumatera Barat. Untuk meneruskan pendidikan ke jenjang menengah, bapak terpaksa hijrah ke daerah lain. Secara di kampung hanya terdapat sekolah dasar.

Ketika mengenyam bangku Mts dan PGA di Ujung Gading, Pasaman, Sumatera Barat, bapak menghidupi dirinya dengan berjualan minyak tanah yang didapatnya dari juragan. Hampir setiap pulang sekolah, bapak memanggul kaleng minyak tanah itu dan menjualnya keliling ibukota kecamatan itu. Setamat dari PGA, bapak merantau ke Padang. Berencana meneruskan sekolahnya ke Universitas Muhammadiyah, Padang. Namun apa daya, biaya tak ada. Bapak tak kehabisan akal. Bapak menemui salah seorang pimpinan di Universitas Muhammadiyah itu untuk meminta beasiswa. Pimpinan itu menyetujui namun dengan syarat bapak harus menjadi juru dakwah di Kepulauan Mentawai selama 2 tahun. Dikarenakan keinginan kuliah bapak yang menggebu, bapak pun menerima syarat itu. Dan tinggallah bapak selama 2 kali idul fitri di salah satu pulau di barat Padang itu. Berdakwah.

Setelah menyelesaikan Sarjana Muda-nya, bapak melanjutkan perantauannya ke Jakarta. Satu-satunya tempat yang dituju adalah Dewan Dakwah. Alhamdulillah, keberuntungan berpihak ke bapak. Setelah satu tahun bergabung di Dewan Dakwah, bapak mendapatkan kesempatan untuk makan bangku kuliah di Timur Tengah. Tepatnya di Universitas Ibnu Saud, Riyadh. Semua ini tak lepas dari peran Alm Natsir, mantan perdana menteri RI.

Menariknya, saat bapak meninggalkan Indonesia, ibu sedang mengandung saya. Alhasil, ketika saya lahir, bapak tak berada di samping. Hidup terpisah dengan jarak dan waktu bukan menjadi penghalang bagi bapak dan ibu. Meski bertemu hanya sekitar 1-2 bulan setiap tahunnya, rumah tangga bapak dan ibu awet hingga maut memisahkan mereka. Sekitar tahun 1983, bapak kembali ke tanah air, dan dipercaya oleh Pak Yunan Nasution untuk memegang Akademi Bahasa Arab di Dewan Dakwah.

Tak hanya mengurusi Akademi Bahasa Arab itu, bapak juga kerap diundang ke berbagai daerah untuk memberikan pencerahan dan siraman rohani. Tak kurang PT Arun Aceh, PT Pusri Palembang, LNG Bontang, PT Freeport Tembagapura, PT Pertamina di Cirebon, Cilacap, Duri, dll, telah mengundang bapak untuk berceramah di sana. Bukan hanya itu, bapak juga sering diminta oleh Pak Ande Latief, direktur utama PT Tiga Utama, untuk membimbing jamaah haji ataupun umrah. Inilah yang kemudian menjadi awal langkah bapak dalam dunia perhajian. Beberapa tahun setelah itu, bapak memberanikan diri untuk membuka sendiri bimbingan haji dan umrah yang kini diwariskan kepada saya.

Sebagai seorang dai, bapak selalu mengatakan kepada dai-dai muda untuk tidak mencari hidup di dunia dakwah. Bapak menyesalkan saat banyak teman bapak yang hidup dengan hanya berharap dari uang amplop dari jamaah. Bagi bapak, dakwah adalah tuntutan, dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, bapak pun merambah dunia lain.

Bapak pernah bekerjasama dengan orang untuk membangun pabrik Kelapa Parut di Cilegon. Bapak juga pernah berkecimpung di dunia budidaya Udang, di Brebes. Bapak pun merambah ke dunia percetakan dan penerbitan. Untuk dunia satu ini, sekitar tahun 2003, bapak sempat menjabat menjadi salah satu ketua di Ikapi Jakarta. Intinya, bapak tak lagi mau menjual ayat untuk mencari uang.

Di tahun 1999 bapak pun memperkuat salah satu partai dakwah dengan menjadi Caleg tuk DPR RI. Demikian juga di tahun 2004. Bapak termasuk pendulang suara bagi Caleg yang nomor urut di atasnya. Terlepas pro dan kontra yang ada, saya melihatnya ini sebagai bentuk dakwah bapak juga. Wallahu ‘alam.

Bapak juga concern dengan kaderisasi mubaligh. Tak kurang 50 orang setiap tahunnya dididik untuk menjadi mubaligh yang siap terjun ke masyarakat. Untuk “melestarikan” ilmunya, bapak juga telah menulis beberapa buku yang menunjang pelatihan tersebut. Selain itu bapak juga menulis buku tentang haji, aqidah, dan lain-lain. Pendek kata, bapak tak pernah berhenti berkarya.

Tapi kini bapak sudah tak ada. Bapak telah meninggalkan segudang kenangan kepada kami. Bapak telah mewariskan beberapa amanah kepada kami (Putera-puteri kandungnya dan anak didiknya). Amanah yang tidak ringan, yaitu, melanjutkan perjuangan dakwah yang sudah dirintisnya berpuluh tahun yang silam. Semoga kami dapat menjalankan amanah itu dengan baik. Semoga.

In memoriam:

KH. BASRAH LUBIS
Lahir: Jum’at, 7 September 1950 Wafat: Jum’at, 10 Juni 2005

Allahumaghfirlahu, warhamhu, wa afiihi wa fuanhu. Allahuma laa tahrimna ajrohu, wa laa taftinna ba'dahu, waghfirlana walahu...

Postingan Perdana

Assalamu'alaikum....
Blog ini sengaja dibuat untuk mengenang KH BASRAH LUBIS, seorang muhajid yang kiprahnya di bidang dakwah tidak diragukan lagi.
Blog ini berisi tulisan-tulisan yang berkenaan dengan beliau baik berupa copy paste dari sebuah situs atau tulisan-tulisan saya, putri pertama beliau.
Semoga blog ini dapat membuat KH BASRAH LUBIS tetap hidup meski beliau sudah tidak ada. Semoga.
Wassalamu'alaikum...

Elly Zarnie Lubis